Bapak/ibu /saudara/i yang
dikasihi Tuhan
Tidak ada seorangpun di dunia
ini yang menghendaki hidupnya berada dalam kondisi yang penuh dengan kesusahan
dan penderitaan. Setiap kita tentunya menginginkan agar hidup ini diliputi
dengan kedamaian, sukacita dan kebahagiaan. Namun sdr2 jemaat, tidak dapat kita
pungkiri bahwa sebagai manusia, kesusahan dan penderitaan itu sendiri
seringkali juga menghinggapi kehidupan kita, termasuk sdr dan saya. Nah, respons kita terhadap
kesusahan dan penderitaan itu sendiri bermacam-macam. Ada yang mampu menguasai
keadaan yang sulit itu, tetapi ada banyak juga yang tidak tahan dan lari dari
kenyataan ini. Ketidakmampuan di dalam menghadapi kesulitan ini dapat membuat
kita menjadi orang-orang yang mudah putus asa, tawar hati dan tidak punya
semangat hidup. Untuk keluar dari kesulitan yang dihadapi, ada banyak juga
diantara kita yang sering menggunakan cara-cara yang serba instant, sehingga
seringkali keputusan-keputusan yang kita ambil, tidak sesuai dengan apa yang
Allah kehendaki.
Bapak/ibu saudara/i jemaat
Kondisi ini juga terjadi
dalam konteks hidup orang-orang kristen generasi kedua sesuai dengan konteks
penulisan sesuai dengan bacaan kita kali ini, yang banyak mengalami
penghambatan dan penganiayaan. Bayangkan saja sdr2 jemaat, mereka ini menjadi
generasi yang menyaksikan penderitaan dari saudara-saudara seiman mereka. Bukan
itu saja, sebagian dari para pemimpin mereka, banyak juga yang telah mengalami
mati sahid. Kenyataan ini kemudian membuat beberapa anggota jemaat menjauhkan
diri dari pertemuan-pertemuan ibadah, bahkan tidak sedikit yang meninggalkan
iman mereka dan menjadi murtad.
Mungkin sdr2 bertanya, lalu
apa relevansi dari teks yang baru saja kita baca bersama, sementara kita tidak
lagi hidup dalam masa penghambatan dan penganiayaan seperti yang terjadi dalam
konteks penulisan surat ibarani. Toh saat ini, negara sudah menjamin hak
beragama kita. Memang benar, tetapi sebenarnya ada sisi lain dari teks kita
kali ini yang hendak ditampilkan untuk menerangi kehidupan kita selaku
orang-orang Kristen di masa kini, khususnya kepada kita yang beribadah di pagi
ini.
Yang pertama, persoalan meninggalkan
iman bukan saja ketika ada orang Kristen yang kemudian beralih agama dan
memeluk agama yang lain. Meninggalkan iman itu dapat terjadi bahkan ketika kita
masih menjadi seorang “Kristen”.
Kenapa saya katakan demikian? Ada diantara orang-orang Kristen, yang katanya
beriman kepada Kristus tetapi tidak mencerminkan kepribadian seperti Kristus.
Baru temui kesulitan keuangan sedikit, sudah menyangkal Kristus, tipu sini,
tipu sana. Seakan-akan kristus yang kita imani, yang kita teladani adalah
seorang penipu. Ataupun juga, ada orang-orang Kristen yang katanya beriman
kepada kristus, tapi ketika ada persoalan dalam rumah tangga, lari untuk
minuman keras. Seakan-akan kristus yang kita imani itu suka menyelesaikan
persoalan dengan miras. Padahal sebagaimana kita tahu, ketika Yesus akan
menghadapi sebuah situasi yang sulit, sebelum ditangkap dan mengalami
penderitaan, justru ia berdoa.
Yang kedua, pada ayat yang
pertama tertulis bahwa kita mempunyai banyak saksi. Saksi yang dimaksudkan
disini ialah saksi-saksi iman, mulai dari zaman Habel, Nuh, Abraham, Musa dan
seterusnya berpuncak pada Yesus sebagai penyempurna iman.
Selain itu, orang tua-orang
tua kita juga telah menjadi saksi-saksi iman dari hidup mereka, ketika mereka
berjuang melawan penyakit dan disembuhkan hanya karena iman. Ketika ada
keluarga-keluarga yang mengalami keretakan dan dipersatukan kembali hanya
karena iman, dan ketika ada anak-anak dari keluarga yang tidak mampu tetapi
diberikan pekerjaan, tanpa sogok, tanpa koneksi, hanya karena iman kepada
Yesus. Pengalaman-pengalaman iman inilah yang menjadi cerminan sekaligus
kekuatan bagi perjalanan hidup kita, bahwa Iman kepada Allah di dalam
kesungguhan akan membuahkan kehidupan yang bahagia di kemudian hari.
Yang ketiga, penulis surat
ibrani menganalogikan kehidupan orang Kristen itu seperti seorang pelari yang
sementara mengikuti perlombaan. Karena itu, ada satu kisah yang ingin saya
ceritakan sebagai ilustrasi dalam memahami makna perlombaan yang tertuang di
dalam bacaan ini. Ada satu perlombaan lari bergengsi yang diikuti oleh banyak
peserta dari berbagai negara. Lomba ini begitu ketat karena diatas kertas,
hampir semua atlit punya potensi dan pengalaman yang luar biasa. Diantara para
atlit itu, ada seorang atlet yang baru pernah mengikuti perlombaan ini. Tiba
pada harinya, perlombaan pun dimulai.
Saat pistol ditembakan
sebagai tanda start, semua pelari berlari dengan kencangnya. Semua peserta
berupaya untuk saling mengalahkan untuk menjadi yang tercepat. Akhirnya semua
peserta pun mencapai garis finish. Yang menarik disini ialah bahwa ada satu
orang peserta yang tertinggal jauh di belakang. Ia adalah peserta yang tadi
saya ceritakan, yang baru pernah mengikuti lomba ini. Para penonton pun
berteriak kepadanya sambil mengejek, hei pecundang berhenti
saja, kamu sudah kalah. Tetapi atlit ini tidak berhenti, ia terus berlari
untuk mencapai garis finisih. Sesampainya di finish ia pun diwawancarai oleh
seorang reporter TV. Reporter itu bertanya kepada dia, kenapa anda masih terus
melanjutkan lari, padahal jelas-jelas anda sudah kalah. Atlit ini menjawab
dengan jawaban yang mengagumkan, saya harus menyelesaikan perlombaan ini, sebab
saya dipercayakan oleh negara dan rakyat untuk tidak berhenti di tengah jalan
walaupun saya bukan yang terbaik. Apa yang terjadi kemudian, besok harinya,
pernyataan atlit ini menjadi headline dari surat kabar, bahkan ketika dia
kembali ke negaranya, ia diberikan penghargaan dan disambut dengan sorak sorai
seperti layaknya seorang pemenang.
Ilustrasi ini hendak
menggambarkan kepada kita bahwa sebenarnya hidup ini laksana sebuah perlombaan,
kadang kita memiliki keterbatasan di dalam menjalaninya. Kadang kesusahan
membelit kita, tapi hidup ini harus tetap dijalani dalam sebuah ketekunan.
Ketekunan di dalam doa dan kerja. Apa yang dilakukan oleh atlit tadi merupakan
gambaran bahwa ia juga telah melepaskan beban yang menghimpitnya, yakni
keputusasaan, seperti Yesus yang tetap tegar menjalani tugasnya, meskipun
penderitaan dan hinaan harus Ia alami.
Selanjutnya, melepaskan kehidupan
dari dosa. Ya, dosa itu menawarkan kenikmatan. Dosa itu menggiurkan manusia.
Manusia sering jatuh dalam dosa karena mudah diperdaya oleh iblis. Apa yang
akan kita pilih, kenikmatan yang membawa dosa ataukah kesusahan yang
mendatangkan sukacita? Jangan sampai ketika kita ingin mencapai tujuan dalam
hidup seperti seorang pelari, kita melakukan kecurangan (doping), memilih jalan
pintas, yang sebenarnya bukanlah wujud dari sebuah ketekunan.
Bapak/ibu/saudara/i jemaat
Jika kita meneropong jauh ke
dalam kehidupan dan penderitaan Yesus, terlihat jelas bahwa pergumulan kita
untuk melawan dosa masih sangat ringan, dibandingkan dengan apa yang Yesus
alami ketika Ia harus mencucurkan darah demi pendamaian dosa-dosa kita. Saat
ini, kita hanya berjuang untuk melawan kedagingan kita. Karena itu, marilah
kita bersungguh-sungguh supaya kita mampu menjalani hidup ini sebagai ungkapan
syukur atas pengorbanan yang telah Kristus lakukan bagi kita.
Selain itu, dalam memaknai
minggu sengsara Yesus yang ke-6 ini, saya mengajak kita sekalian supaya hidup
kita dapat mendatangkan berkat dan kedamaian bagi semua orang. Tanggalkan hidup
yang mementingkan diri sendiri, sebab Yesus juga melakukan hal ini bagi sdr dan
saya. Jadilah pribadi-pribadi yang adil bagi sesamamu yang berlomba dalam
hidup ini. Jangan merasa hebat karena sudah benar dan merendahkan mereka yang
tersesat. Kuatkanlah tangan sdr2 kita yang lemah dan lutut mereka yang goyah.
Berlombalah dengan tekun untuk terus melakukan yang terbaik bagi Tuhan dan
sesama, Tuhan memberkati. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar