Selasa, 24 Februari 2015

Perlombaan Iman

Bapak/ibu /saudara/i yang dikasihi Tuhan
Tidak ada seorangpun di dunia ini yang menghendaki hidupnya berada dalam kondisi yang penuh dengan kesusahan dan penderitaan. Setiap kita tentunya menginginkan agar hidup ini diliputi dengan kedamaian, sukacita dan kebahagiaan. Namun sdr2 jemaat, tidak dapat kita pungkiri bahwa sebagai manusia, kesusahan dan penderitaan itu sendiri seringkali juga menghinggapi kehidupan kita, termasuk sdr dan saya. Nah, respons kita terhadap kesusahan dan penderitaan itu sendiri bermacam-macam. Ada yang mampu menguasai keadaan yang sulit itu, tetapi ada banyak juga yang tidak tahan dan lari dari kenyataan ini. Ketidakmampuan di dalam menghadapi kesulitan ini dapat membuat kita menjadi orang-orang yang mudah putus asa, tawar hati dan tidak punya semangat hidup. Untuk keluar dari kesulitan yang dihadapi, ada banyak juga diantara kita yang sering menggunakan cara-cara yang serba instant, sehingga seringkali keputusan-keputusan yang kita ambil, tidak sesuai dengan apa yang Allah kehendaki.

Bapak/ibu saudara/i jemaat
Kondisi ini juga terjadi dalam konteks hidup orang-orang kristen generasi kedua sesuai dengan konteks penulisan sesuai dengan bacaan kita kali ini, yang banyak mengalami penghambatan dan penganiayaan. Bayangkan saja sdr2 jemaat, mereka ini menjadi generasi yang menyaksikan penderitaan dari saudara-saudara seiman mereka. Bukan itu saja, sebagian dari para pemimpin mereka, banyak juga yang telah mengalami mati sahid. Kenyataan ini kemudian membuat beberapa anggota jemaat menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah, bahkan tidak sedikit yang meninggalkan iman mereka dan menjadi murtad.

Mungkin sdr2 bertanya, lalu apa relevansi dari teks yang baru saja kita baca bersama, sementara kita tidak lagi hidup dalam masa penghambatan dan penganiayaan seperti yang terjadi dalam konteks penulisan surat ibarani. Toh saat ini, negara sudah menjamin hak beragama kita. Memang benar, tetapi sebenarnya ada sisi lain dari teks kita kali ini yang hendak ditampilkan untuk menerangi kehidupan kita selaku orang-orang Kristen di masa kini, khususnya kepada kita yang beribadah di pagi ini. 


Yang pertama, persoalan meninggalkan iman bukan saja ketika ada orang Kristen yang kemudian beralih agama dan memeluk agama yang lain. Meninggalkan iman itu dapat terjadi bahkan ketika kita masih menjadi seorang “Kristen”. Kenapa saya katakan demikian? Ada diantara orang-orang Kristen, yang katanya beriman kepada Kristus tetapi tidak mencerminkan kepribadian seperti Kristus. Baru temui kesulitan keuangan sedikit, sudah menyangkal Kristus, tipu sini, tipu sana. Seakan-akan kristus yang kita imani, yang kita teladani adalah seorang penipu. Ataupun juga, ada orang-orang Kristen yang katanya beriman kepada kristus, tapi ketika ada persoalan dalam rumah tangga, lari untuk minuman keras. Seakan-akan kristus yang kita imani itu suka menyelesaikan persoalan dengan miras. Padahal sebagaimana kita tahu, ketika Yesus akan menghadapi sebuah situasi yang sulit, sebelum ditangkap dan mengalami penderitaan, justru ia berdoa.

Yang kedua, pada ayat yang pertama tertulis bahwa kita mempunyai banyak saksi. Saksi yang dimaksudkan disini ialah saksi-saksi iman, mulai dari zaman Habel, Nuh, Abraham, Musa dan seterusnya berpuncak pada Yesus sebagai penyempurna iman.

Selain itu, orang tua-orang tua kita juga telah menjadi saksi-saksi iman dari hidup mereka, ketika mereka berjuang melawan penyakit dan disembuhkan hanya karena iman. Ketika ada keluarga-keluarga yang mengalami keretakan dan dipersatukan kembali hanya karena iman, dan ketika ada anak-anak dari keluarga yang tidak mampu tetapi diberikan pekerjaan, tanpa sogok, tanpa koneksi, hanya karena iman kepada Yesus. Pengalaman-pengalaman iman inilah yang menjadi cerminan sekaligus kekuatan bagi perjalanan hidup kita, bahwa Iman kepada Allah di dalam kesungguhan akan membuahkan kehidupan yang bahagia di kemudian hari.

Yang ketiga, penulis surat ibrani menganalogikan kehidupan orang Kristen itu seperti seorang pelari yang sementara mengikuti perlombaan. Karena itu, ada satu kisah yang ingin saya ceritakan sebagai ilustrasi dalam memahami makna perlombaan yang tertuang di dalam bacaan ini. Ada satu perlombaan lari bergengsi yang diikuti oleh banyak peserta dari berbagai negara. Lomba ini begitu ketat karena diatas kertas, hampir semua atlit punya potensi dan pengalaman yang luar biasa. Diantara para atlit itu, ada seorang atlet yang baru pernah mengikuti perlombaan ini. Tiba pada harinya, perlombaan pun dimulai.
Saat pistol ditembakan sebagai tanda start, semua pelari berlari dengan kencangnya. Semua peserta berupaya untuk saling mengalahkan untuk menjadi yang tercepat. Akhirnya semua peserta pun mencapai garis finish. Yang menarik disini ialah bahwa ada satu orang peserta yang tertinggal jauh di belakang. Ia adalah peserta yang tadi saya ceritakan, yang baru pernah mengikuti lomba ini. Para penonton pun berteriak kepadanya sambil mengejek, hei pecundang berhenti saja, kamu sudah kalah. Tetapi atlit ini tidak berhenti, ia terus berlari untuk mencapai garis finisih. Sesampainya di finish ia pun diwawancarai oleh seorang reporter TV. Reporter itu bertanya kepada dia, kenapa anda masih terus melanjutkan lari, padahal jelas-jelas anda sudah kalah. Atlit ini menjawab dengan jawaban yang mengagumkan, saya harus menyelesaikan perlombaan ini, sebab saya dipercayakan oleh negara dan rakyat untuk tidak berhenti di tengah jalan walaupun saya bukan yang terbaik. Apa yang terjadi kemudian, besok harinya, pernyataan atlit ini menjadi headline dari surat kabar, bahkan ketika dia kembali ke negaranya, ia diberikan penghargaan dan disambut dengan sorak sorai seperti layaknya seorang pemenang.

Ilustrasi ini hendak menggambarkan kepada kita bahwa sebenarnya hidup ini laksana sebuah perlombaan, kadang kita memiliki keterbatasan di dalam menjalaninya. Kadang kesusahan membelit kita, tapi hidup ini harus tetap dijalani dalam sebuah ketekunan. Ketekunan di dalam doa dan kerja. Apa yang dilakukan oleh atlit tadi merupakan gambaran bahwa ia juga telah melepaskan beban yang menghimpitnya, yakni keputusasaan, seperti Yesus yang tetap tegar menjalani tugasnya, meskipun penderitaan dan hinaan harus Ia alami.

Selanjutnya, melepaskan kehidupan dari dosa. Ya, dosa itu menawarkan kenikmatan. Dosa itu menggiurkan manusia. Manusia sering jatuh dalam dosa karena mudah diperdaya oleh iblis. Apa yang akan kita pilih, kenikmatan yang membawa dosa ataukah kesusahan yang mendatangkan sukacita? Jangan sampai ketika kita ingin mencapai tujuan dalam hidup seperti seorang pelari, kita melakukan kecurangan (doping), memilih jalan pintas, yang sebenarnya bukanlah wujud dari sebuah ketekunan.

Bapak/ibu/saudara/i jemaat
Jika kita meneropong jauh ke dalam kehidupan dan penderitaan Yesus, terlihat jelas bahwa pergumulan kita untuk melawan dosa masih sangat ringan, dibandingkan dengan apa yang Yesus alami ketika Ia harus mencucurkan darah demi pendamaian dosa-dosa kita. Saat ini, kita hanya berjuang untuk melawan kedagingan kita. Karena itu, marilah kita bersungguh-sungguh supaya kita mampu menjalani hidup ini sebagai ungkapan syukur atas pengorbanan yang telah Kristus lakukan bagi kita.

Selain itu, dalam memaknai minggu sengsara Yesus yang ke-6 ini, saya mengajak kita sekalian supaya hidup kita dapat mendatangkan berkat dan kedamaian bagi semua orang. Tanggalkan hidup yang mementingkan diri sendiri, sebab Yesus juga melakukan hal ini bagi sdr dan saya. Jadilah pribadi-pribadi yang adil bagi sesamamu yang berlomba dalam hidup ini. Jangan merasa hebat karena sudah benar dan merendahkan mereka yang tersesat. Kuatkanlah tangan sdr2 kita yang lemah dan lutut mereka yang goyah. Berlombalah dengan tekun untuk terus melakukan yang terbaik bagi Tuhan dan sesama, Tuhan memberkati. Amin

  





    




Tidak ada komentar:

Posting Komentar