Bapak/ibu/saudara/i
jemaat yang diberkati Tuhan!
Mengawali
perjalanan kehidupan kita minggu pertama bulan februari ini, kita bersama
dituntun oleh tema mingguan: Pembinaan
hidup yang lemah lembut. Tema ini menarik sebab sangat relevan kenyataan
kehidupan kita di masa kini. Berbicara tentang kelemahlembutan, hal ini tentu sudah
menjadi barang langka di tengah kehidupan kita. Kenapa saya katakan demikian? Kalau
kita amati, di berbagai media ditampilkan ada banyak sekali praktek kekerasan
yang terjadi, mulai dari tawuran siswa, tontonan olahraga yang dipenuhi dengan kekerasan,
perkelahian antar geng, bahkan kemarin di beberapa tempat di kota Ambon,
termasuk di dalam lingkungan jemaat kita, terjadi perkelahian dan saling lempar
antar kelompok pemuda. Ini menunjukan bahwa masyarakat kita sudah terbentuk
dengan kebiasaan melakukan kekerasan.
Tidak
hanya itu, praktek kekerasan baik secara fisik maupun mental juga sering
terjadi dalam kehidupan kita sebagai keluarga-keluarga Kristen. Secara tidak sadar
budaya kekerasan juga sering kita terapkan dalam pembinaan keluarga dan
lingkungan kita. Nah, salah satu alasan yang biasanya digunakan sebagai dasar
untuk melegalkan tindakan kekerasan itu adalah karena, kita berpola pada
pemikiran bahwa orang Maluku itu harus dibina dengan kekerasan baru bisa
menjadi manusia. Dengan demikian kekerasan ini menjadi sebuah budaya yang terus
diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun
apakah pembinaan dengan kekerasan adalah cara yang tepat dalam membangun kualitas
hidup seseorang? Sebelumnya, disini saya harus membedakan apa itu kekerasan dan
apa itu kedisiplinan. Sebab kadang kita berpikir bahwa menerapkan hidup
disiplin sama dengan menerapkan pembinaan dengan kekerasan. Jadi kita mesti
ingat bahwa kedisiplinan dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda. Sebab
kedisiplinan bukanlah kekerasan.
Dari
pengamatan saya, ada banyak orang tua yang juga keliru dengan hal ini. Kenapa
saya katakan demikian? Saya pernah menemukan ada seorang ayah yang memahami
bahwa pembinaan tentang kedisiplinan itu harus dilakukan dengan melakukan
kekerasan. Sehingga ketika anak berbuat salah, dia dipukul habis-habisan,
bagaikan seorang musuh. Selain itu, saya juga melihat ada suami yang ketika
istrinya melakukan kekeliruan lalu kemudian melakukan penamparan dan
mengeluarkan kata-kata makian, katanya supaya istrinya sadar dan tidak
mengulangi kesalahannya. Padahal apa yang terjadi kemudian, anak-anak semakin menjadi
pembangkang dan pendendam, mereka terbentuk menjadi anak-anak yang tutur kata
dan perbuatannya dipenuhi dengan kekerasan. Bahkan kenyataan membuktikan bahwa ada
istri yang karena merasa malu dan tertekan, kemudian mengambil jalan pintas
untuk mengakhiri hidupnya, karena merasa tidak tahan dengan kekerasan yang
dilakukan oleh suaminya itu.
Ini
adalah fenomena yang terjadi dalam kehidupan kita di masa kini, di dunia yang
rentan terjebak dalam praktek-praktek kekerasan. Kenyataan-kenyataan ini
menjadi pergumulan kita selaku pribadi, keluarga, persekutuan jemaat dan Gereja
Protestan Maluku secara utuh. Sebagai solusi terhadap persoalan ini, bersama
kita diterangi oleh bacaan Alkitab dari Galatia 6:1-5. Teks ini diawali dengan
sebuah nasihat bahwa jika ada seseorang melakukan pelanggaran, maka kamu yang
rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar, namun dengan
kelemahlembutan. Yang dimaksud dengan kamu yang rohani disini adalah
orang-orang Kristen/jemaat di Galatia. Kenapa paulus mengatakan hal ini? Paulus
menyadari bahwa setiap orang memiliki potensi untuk bisa berbuat baik dan punya
keinginan untuk memperbaiki setiap kesalahannya. Karena itu, setiap kesalahan
yang dilakukan oleh seseorang, tidak boleh kita pandang sebagai aib yang tidak
terampuni. Orang yang melakukan kesalahan bukan sampah yang akan dibuang.
Melainkan pribadi yang harus dikembalikan ke jalan yang benar. Karena itu,
salah satu cara untuk mewujudkan itu adalah dengan memimpin dalam roh
kelemahlembutan. Dengan kelemahlembutan, kita membangun kepercayaan diri dari
setiap orang untuk bisa memperbaiki kesalahannya. Sebaliknya kekerasan tidak
akan mampu melakukan hal itu, sebab kekerasan hanya akan membuat orang lain ada
dalam keterpurukan dan tidak mampu memperbaiki diri. Nah, kehendak Tuhan bagi
kita selaku orang percaya adalah dengan memberikan second chance (kesempatan kedua) kepada setiap orang yang pernah
melakukan kesalahan, sebab sebagaimana Yehezkiel 18:23 mengatakan bahwa Tuhan
berkenan bukan kepada kematian orang fasik tetapi kepada pertobatan yang
membawa hidup.
Kita
pasti masih ingat, kisah perempuan yang kedapatan berzinah yang diberikan
kesempatan kedua oleh Tuhan. Seandainya dia dilempari dengan batu hingga mati,
maka tidak akan ada pertobatan baginya. Dengan kelemahlembutan Yesus memberikan
kesempatan kedua bagi perempuan itu dengan berkata, Aku pun tidak menghukum
engkau, pergilah dan jangan berbuat dosa
lagi dari sekarang.
Nah
paulus pun menekankan pentingnya kelemahlembutan dalam mengarahkan kembali
mereka yang melakukan pelanggaran, sebab kelemahlembutan adalah salah satu dari
buah roh yang memiliki kekuatan untuk mengubah dan membarui hidup. Dengan
demikian, ketika kembali dalam hidup bapak/ibu/sdr/I sekalian, mari hiduplah di
dalam kelemahlembutan, kepada anak-anak kita yang pernah berbuat salah, kepada
istri, kepada saudara dan kepada setiap orang. Saya percaya dalam
kelemahlembutan, mereka yang pernah melakukan pelanggaran akan dimenangkan dan
memiliki hidup dalam pertobatan. Amin
Satu
hal yang diingatkan oleh Paulus dalam tugas mengembalikan mereka yang pernah melakukan
pelanggaran adalah jangan sampai jemaat kena pencobaan. Paulus mengatakan hal
ini untuk mengantisipasi jemaat di Galatia agar mereka tidak jatuh ke dalam
kesombongan rohani, sehingga memandang diri lebih unggul, lebih baik dari
mereka yang pernah melakukan pelanggaran.
Maksud
tersirat dari apa yang paulus ungkapkan ini hendak menegaskan bahwa setiap
manusia berpotensi melakukan yang baik dan juga berpotensi melakukan yang tidak
baik. Karena itu, sebagai orang-orang percaya, orang-orang rohani, kita tidak
boleh menganggap diri lebih terhormat hanya karena kita tidak melakukan
pelanggaran. Karena itu, ketika kita kembali dan bertemu dengan orang-orang
yang pernah melakukan kesalahan, jangan merasa tinggi hati, jangan merasa lebih
layak dari mereka. Pembinaan dan kesempatan kedua yang kita berikan, mesti
lahir dari sebuah kesadaran bahwa kasih Allah di dalam pengorbanan Kristus,
telah lebih dulu memberikan kesempatan kedua bagi saudara dan saya untuk
memperbaiki hidup dan memperoleh keselamatan dari padaNya.
Hal
ini mesti diwujudkan dalam kehidupan jemaat dengan saling tolong-menolong,
menanggung beban seperti yang tertuang pada ayat yang ke-2. Beban yang
dimaksudkan disini berasal dari bahasa yunani, baros, yang berarti hasil dari kelemahan dan dosa. Jadi dalam hidup
kita sebagai orang percaya dalam keluarga dan dalam konteks berjemaat, kita
mesti saling membangun, saling memberikan motivasi dan dorongan untuk berbalik
dari kesalahan dan bisa menjadi lebih baik, sebab setiap kita sesungguhnya
tidaklah sempurna. Kita masing-masing memiliki kelemahan. Yang terpenting
adalah bagaimana kita saling mengisi dan saling melengkapi agar hidup kita
semakin berkenan kepada Tuhan dan bukan untuk menganggap diri lebih berarti
dari orang lain, sebab hal itu adalah penipuan kepada diri sendiri, seperti
yang tertuang pada ayat ke-3.
Selanjutnya pada ayat ke-4 disampaikan tentang bagaimana
seharusnya orang percaya menguji pekerjaannya dan bukan melihat keadaan orang
lain. Kadang secara tidak sadar, kita
tidak melihat dan mengevaluasi apa yang sudah kita lakukan. Justru kita lebih
cenderung membandingkan keberadaan kita dengan orang lain ditengah kekurangan
mereka. Nah, pada ayat yang ke-4 ini, kita diingatkan agar setiap tindakan kita
itu mesti diuji. Maksud dari pengujian itu adalah supaya kita menemukan apa
latar belakang, apa motivasi kita dalam melakukan sesuatu. Kenapa? Kadang apa
yang kita lakukan itu tidak dilatarbelakangi dengan kemurnian hati. Kadang
motivasi kita adalah supaya kita memperoleh balasan dan keuntungan. Kebaikan
dan tindakan kita punya tujuan untuk kepentingan diri. Misalnya kita melakukan
kebaikan dengan dasar supaya Tuhan membalas itu, atau supaya orang juga
melakukan yang baik kepada saya. Kadang kelemahlembutan yang ditampilkan tidak
lahir dari ketulusan, tetapi untuk memperoleh simpati dan perhatian. Saya ingat
kata seorang ustad yang mengatakan begini, apa arti dari sebuah kebaikan, jika
kebaikan itu dilakukan untuk menuntut balas. Ingat bahwa dasar bagi kita dalam
melakukan sesuatu yang baik merupakan respons kita terhadap kebaikan Tuhan yang
telah lebih dulu dinyatakan dalam kehidupan kita. Pada waktunya, segala sesuatu
yang kita lakukan akan kita pertanggungjawabkan nanti. Percayalah, ketika kita
melakukannya dalam kesungguhan dan ketulusan, segala sesuatu yang kita buat itu
tidaklah sia-sia. Tuhan memberkati kita sekalian dalam mewujudnyatakan firman
ini. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar