Selasa, 24 Februari 2015

Kelemahlembutan dan Kerendahan Hati: Syarat Membangun Kualitas Hidup Bersama


Bapak/ibu/saudara/i jemaat yang diberkati Tuhan!
Mengawali perjalanan kehidupan kita minggu pertama bulan februari ini, kita bersama dituntun oleh tema mingguan: Pembinaan hidup yang lemah lembut. Tema ini menarik sebab sangat relevan kenyataan kehidupan kita di masa kini. Berbicara tentang kelemahlembutan, hal ini tentu sudah menjadi barang langka di tengah kehidupan kita. Kenapa saya katakan demikian? Kalau kita amati, di berbagai media ditampilkan ada banyak sekali praktek kekerasan yang terjadi, mulai dari tawuran siswa, tontonan olahraga yang dipenuhi dengan kekerasan, perkelahian antar geng, bahkan kemarin di beberapa tempat di kota Ambon, termasuk di dalam lingkungan jemaat kita, terjadi perkelahian dan saling lempar antar kelompok pemuda. Ini menunjukan bahwa masyarakat kita sudah terbentuk dengan kebiasaan melakukan kekerasan.  

Tidak hanya itu, praktek kekerasan baik secara fisik maupun mental juga sering terjadi dalam kehidupan kita sebagai keluarga-keluarga Kristen. Secara tidak sadar budaya kekerasan juga sering kita terapkan dalam pembinaan keluarga dan lingkungan kita. Nah, salah satu alasan yang biasanya digunakan sebagai dasar untuk melegalkan tindakan kekerasan itu adalah karena, kita berpola pada pemikiran bahwa orang Maluku itu harus dibina dengan kekerasan baru bisa menjadi manusia. Dengan demikian kekerasan ini menjadi sebuah budaya yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Namun apakah pembinaan dengan kekerasan adalah cara yang tepat dalam membangun kualitas hidup seseorang? Sebelumnya, disini saya harus membedakan apa itu kekerasan dan apa itu kedisiplinan. Sebab kadang kita berpikir bahwa menerapkan hidup disiplin sama dengan menerapkan pembinaan dengan kekerasan. Jadi kita mesti ingat bahwa kedisiplinan dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda. Sebab kedisiplinan bukanlah kekerasan.

Dari pengamatan saya, ada banyak orang tua yang juga keliru dengan hal ini. Kenapa saya katakan demikian? Saya pernah menemukan ada seorang ayah yang memahami bahwa pembinaan tentang kedisiplinan itu harus dilakukan dengan melakukan kekerasan. Sehingga ketika anak berbuat salah, dia dipukul habis-habisan, bagaikan seorang musuh. Selain itu, saya juga melihat ada suami yang ketika istrinya melakukan kekeliruan lalu kemudian melakukan penamparan dan mengeluarkan kata-kata makian, katanya supaya istrinya sadar dan tidak mengulangi kesalahannya. Padahal apa yang terjadi kemudian, anak-anak semakin menjadi pembangkang dan pendendam, mereka terbentuk menjadi anak-anak yang tutur kata dan perbuatannya dipenuhi dengan kekerasan. Bahkan kenyataan membuktikan bahwa ada istri yang karena merasa malu dan tertekan, kemudian mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya, karena merasa tidak tahan dengan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya itu. 

Ini adalah fenomena yang terjadi dalam kehidupan kita di masa kini, di dunia yang rentan terjebak dalam praktek-praktek kekerasan. Kenyataan-kenyataan ini menjadi pergumulan kita selaku pribadi, keluarga, persekutuan jemaat dan Gereja Protestan Maluku secara utuh. Sebagai solusi terhadap persoalan ini, bersama kita diterangi oleh bacaan Alkitab dari Galatia 6:1-5. Teks ini diawali dengan sebuah nasihat bahwa jika ada seseorang melakukan pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar, namun dengan kelemahlembutan. Yang dimaksud dengan kamu yang rohani disini adalah orang-orang Kristen/jemaat di Galatia. Kenapa paulus mengatakan hal ini? Paulus menyadari bahwa setiap orang memiliki potensi untuk bisa berbuat baik dan punya keinginan untuk memperbaiki setiap kesalahannya. Karena itu, setiap kesalahan yang dilakukan oleh seseorang, tidak boleh kita pandang sebagai aib yang tidak terampuni. Orang yang melakukan kesalahan bukan sampah yang akan dibuang. Melainkan pribadi yang harus dikembalikan ke jalan yang benar. Karena itu, salah satu cara untuk mewujudkan itu adalah dengan memimpin dalam roh kelemahlembutan. Dengan kelemahlembutan, kita membangun kepercayaan diri dari setiap orang untuk bisa memperbaiki kesalahannya. Sebaliknya kekerasan tidak akan mampu melakukan hal itu, sebab kekerasan hanya akan membuat orang lain ada dalam keterpurukan dan tidak mampu memperbaiki diri. Nah, kehendak Tuhan bagi kita selaku orang percaya adalah dengan memberikan second chance (kesempatan kedua) kepada setiap orang yang pernah melakukan kesalahan, sebab sebagaimana Yehezkiel 18:23 mengatakan bahwa Tuhan berkenan bukan kepada kematian orang fasik tetapi kepada pertobatan yang membawa hidup.

Kita pasti masih ingat, kisah perempuan yang kedapatan berzinah yang diberikan kesempatan kedua oleh Tuhan. Seandainya dia dilempari dengan batu hingga mati, maka tidak akan ada pertobatan baginya. Dengan kelemahlembutan Yesus memberikan kesempatan kedua bagi perempuan itu dengan berkata, Aku pun tidak menghukum engkau, pergilah dan  jangan berbuat dosa lagi dari sekarang.

Nah paulus pun menekankan pentingnya kelemahlembutan dalam mengarahkan kembali mereka yang melakukan pelanggaran, sebab kelemahlembutan adalah salah satu dari buah roh yang memiliki kekuatan untuk mengubah dan membarui hidup. Dengan demikian, ketika kembali dalam hidup bapak/ibu/sdr/I sekalian, mari hiduplah di dalam kelemahlembutan, kepada anak-anak kita yang pernah berbuat salah, kepada istri, kepada saudara dan kepada setiap orang. Saya percaya dalam kelemahlembutan, mereka yang pernah melakukan pelanggaran akan dimenangkan dan memiliki hidup dalam pertobatan. Amin 

Satu hal yang diingatkan oleh Paulus dalam tugas mengembalikan mereka yang pernah melakukan pelanggaran adalah jangan sampai jemaat kena pencobaan. Paulus mengatakan hal ini untuk mengantisipasi jemaat di Galatia agar mereka tidak jatuh ke dalam kesombongan rohani, sehingga memandang diri lebih unggul, lebih baik dari mereka yang pernah melakukan pelanggaran.

Maksud tersirat dari apa yang paulus ungkapkan ini hendak menegaskan bahwa setiap manusia berpotensi melakukan yang baik dan juga berpotensi melakukan yang tidak baik. Karena itu, sebagai orang-orang percaya, orang-orang rohani, kita tidak boleh menganggap diri lebih terhormat hanya karena kita tidak melakukan pelanggaran. Karena itu, ketika kita kembali dan bertemu dengan orang-orang yang pernah melakukan kesalahan, jangan merasa tinggi hati, jangan merasa lebih layak dari mereka. Pembinaan dan kesempatan kedua yang kita berikan, mesti lahir dari sebuah kesadaran bahwa kasih Allah di dalam pengorbanan Kristus, telah lebih dulu memberikan kesempatan kedua bagi saudara dan saya untuk memperbaiki hidup dan memperoleh keselamatan dari padaNya.

Hal ini mesti diwujudkan dalam kehidupan jemaat dengan saling tolong-menolong, menanggung beban seperti yang tertuang pada ayat yang ke-2. Beban yang dimaksudkan disini berasal dari bahasa yunani, baros, yang berarti hasil dari kelemahan dan dosa. Jadi dalam hidup kita sebagai orang percaya dalam keluarga dan dalam konteks berjemaat, kita mesti saling membangun, saling memberikan motivasi dan dorongan untuk berbalik dari kesalahan dan bisa menjadi lebih baik, sebab setiap kita sesungguhnya tidaklah sempurna. Kita masing-masing memiliki kelemahan. Yang terpenting adalah bagaimana kita saling mengisi dan saling melengkapi agar hidup kita semakin berkenan kepada Tuhan dan bukan untuk menganggap diri lebih berarti dari orang lain, sebab hal itu adalah penipuan kepada diri sendiri, seperti yang tertuang pada ayat ke-3.

Selanjutnya  pada ayat ke-4 disampaikan tentang bagaimana seharusnya orang percaya menguji pekerjaannya dan bukan melihat keadaan orang lain.  Kadang secara tidak sadar, kita tidak melihat dan mengevaluasi apa yang sudah kita lakukan. Justru kita lebih cenderung membandingkan keberadaan kita dengan orang lain ditengah kekurangan mereka. Nah, pada ayat yang ke-4 ini, kita diingatkan agar setiap tindakan kita itu mesti diuji. Maksud dari pengujian itu adalah supaya kita menemukan apa latar belakang, apa motivasi kita dalam melakukan sesuatu. Kenapa? Kadang apa yang kita lakukan itu tidak dilatarbelakangi dengan kemurnian hati. Kadang motivasi kita adalah supaya kita memperoleh balasan dan keuntungan. Kebaikan dan tindakan kita punya tujuan untuk kepentingan diri. Misalnya kita melakukan kebaikan dengan dasar supaya Tuhan membalas itu, atau supaya orang juga melakukan yang baik kepada saya. Kadang kelemahlembutan yang ditampilkan tidak lahir dari ketulusan, tetapi untuk memperoleh simpati dan perhatian. Saya ingat kata seorang ustad yang mengatakan begini, apa arti dari sebuah kebaikan, jika kebaikan itu dilakukan untuk menuntut balas. Ingat bahwa dasar bagi kita dalam melakukan sesuatu yang baik merupakan respons kita terhadap kebaikan Tuhan yang telah lebih dulu dinyatakan dalam kehidupan kita. Pada waktunya, segala sesuatu yang kita lakukan akan kita pertanggungjawabkan nanti. Percayalah, ketika kita melakukannya dalam kesungguhan dan ketulusan, segala sesuatu yang kita buat itu tidaklah sia-sia. Tuhan memberkati kita sekalian dalam mewujudnyatakan firman ini. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar