Jumat, 20 Februari 2015

Menjadi berkat di tengah kekurangan, bisakah? I Raja2 17:7-16

Bapak/ibu/saudara/i yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus, syaloom!
Masih dalam bingkai tema bulanan: Cerdas demi pembaruan gereja, pastinya kita semua menyadari bahwa untuk melakukan pembaruan gereja ke arah yang lebih baik, dibutuhkan kecerdasan. Kecerdasan yang dimaksudkan disini, tidak hanya soal kemampuan intelektual dan kecakapan dalam berpikir, tetapi juga menyangkut dengan kecerdasan spiritual. Tentunya untuk menjadi cerdas, bukanlah hal semudah membalik telapak tangan, sebab kecerdasan membutuhkan proses. Untuk memperoleh kecerdasan kita mesti belajar banyak hal, termasuk belajar dari spirtualitas kaum pinggiran, sesuai dengan tema mingguan kita kali ini. Yang termasuk dengan orang pinggiran ini tidak kepada mereka yang hidupnya miskin, tetapi juga mereka yang seringkali dianggap rendah status sosialnya, seperti para janda, anak yatim piatu, orang kusta, orang lumpuh, penyapu jalan, bahkan orang-orang yang cacat mental (berkebutuhan khusus). Seringkali kita menganggap bahwa orang-orang pinggrian ini sebagai kelompok yang tidak berdaya, rendah derajatnya sehingga kita sering memandang mereka dengan sebelah mata. Padahal justru ada banyak kisah membuktikan bahwa orang-orang pinggiran ini juga memiliki hal-hal positif yang patut kita contohi. Nah, untuk belajar dari spiritulitas kaum pinggiran, ada satu kisah nyata yang hendak saya bagikan kepada bapak/ibu/sdr/I sekalian.

Adalah Lou Xiaoying, seorang wanita miskin yang hidup di China. Ketika suaminya meninggal tahun 1972, Lou Xiaoying yang telah berusia 71 tahun, terpaksa menopang sisa hidupnya sebagai pemulung sampah.

Pada suatu pagi, ketika sedang mencari sampah, ia menemukan sebuah kardus yang berisikan seorang bayi perempuan. Bayi itu dalam keadaan lemah, hanya dibungkus sebuah handuk. Lalu dia membawa pulang dan merawat bayi itu. Tidak lama setelah bayi pertama ia temukan, kembali ia menemukan bayi buangan lainnya. Ia pun membawa pulang dan merawat mereka.

Ternyata pembuangan bayi pada saat itu menjadi trend di negara China. Si janda miskin ini berhasil memungut 30 orang bayi, ia membawa pulang semua bayi itu untuk dipelihara. Meskipun ada juga yang kemudian diadopsi oleh keluarga yang lebih mampu. Bayangkan jika berada kita dalam kondisi demikian? Mungkin kita tidak akan mengambil dan memelihara anak-anak yang dibuang itu.

Akhirnya perjuangan ibu janda miskin untuk menghidupi bayi bayi buangan itu tercium wartawan. Kisah itu kemudian menyebar ke seluruh China, bahkan dunia. Wartawan yang datang mewawancarai Lou yang telah terbaring lemah di rumah sakit, di usianya yang ke 88, bercerita bahwa sebelum menghempus napas terakhirnya, ia masih sempat berkata :
"Saya tidak mengerti mengapa orang-orang tega meninggalkan bayi selemah itu terbaring di antara sampah di jalan. Bayi-bayi tersebut adalah makhluk hidup yang berharga, mereka seharusnya
mendapat kasih sayang dan cinta.
Saya sangat bersyukur semua bayi bayi dapat dibesarkan dengan sehat dan bahagia. Saya yakin mereka akan menjadi orang yang berguna.

Kisah ini sungguh menyadarkan banyak orang bahwa kebaikan hati seseorang tidak hanya dinilai dengan materi. Seorang pumulung sampah yang kehidupannya sulit bisa memiliki hati semulia emas, ketika dari kekurangannya itu, ia tetap menyatakan kasih kepada anak-anak yang dibuang itu. .

Cerita ini sejiwa dengan bacaan Alkitab kita di hari ini tentang kisah janda sarfat yang tetap melayani Elia, meskipun ia sendiri berada dalam situasi yang kelihatan tidak memungkinkan. Kalau Lou xiaoying dalam cerita tadi menolong dan membesarkan anak-anak yang dibuang di tengah kondisi kemiskinan sebagai seorang pemulung sampah, maka dalam teks ini janda sarfat juga melakukan hal serupa. Di tengah kondisi hidupnya yang serba kekurangan, sebagaimana yang ditampilkan pada ayat 12, ketika ia hanya memiliki segenggam tepung dan sedikit minyak di dalam buli-buli. Namun ia tetap berupaya menolong Elia yang berada dalam kondisi haus dan lapar.  

Membaca teks ini tentunya secara manusiawi kita berpikir bahwa sepertinya kisah ini tidak bisa diterima oleh akal sehat, sebab bagaimana mungkin janda miskin ini bisa menolong orang yang susah, sementara dia sendiri adalah orang yang berada dalam kesusahan. Apa yang ditampilkan dari teks ini begitu luar biasa, sebab spiritualitas janda sarfat ini hendak mengubah pandangan kita yang mungkin berpikir bahwa “bagaimana saya bisa menolong orang lain, sementara saya sendiri sementara hidup dalam kesusahan.

Nah berdasarkan teks ini, Pesan pertama yang hendak disampaikan melalui keteladanan janda sarfat ini adalah bahwa orang yang berada dalam kekurangan dan kesulitan hidup sekalipun, mereka juga dipakai Tuhan untuk melakukan kebaikan kepada sesamanya. Intinya adalah bahwa berbuat baik itu harus dilakukan tanpa syarat. Jangan menunggu kita punya segala-galanya baru kita menolong orang lain. Apapun situasi kita, susah maupun senang, ketika kesempatan itu ada, kita harus berupaya melakukan kebaikan bagi sesama. Dengan demikian beta percaya bahwa, kalau orang yang susah saja seperti Lou xiaoying dan janda sarfat bisa Tuhan pakai untuk melayani, maka kita yang berada dalam kelebihan, apapun itu, Tuhan juga memakai saudara dan saya untuk melakukan hal serupa bahkan lebih dari pada itu. Hal ini berarti bahwa kita tidak boleh merendahkan orang kecil dan terpinggrikan dalam hidup berjemaat dan bermasyarakat, sebab sesungguhnya semua kita adalah sama di hadapan Tuhan. Tuhan hadirkan saudara dan saya, supaya di tengah hidup ini, katong satu bisa tolong laeng, satu deng laeng saling melayani dan melengkapi. Ingatlah selalu, setiap orang percaya dengan apa yang dia miliki, dia diutus oleh Tuhan untuk menyatakan kebaikan bagi semua orang.

Pesan yang kedua dari teks ini, mengajak kita semua uintuk belajar dari spiritualitas janda sarfat ini, yang tidak pernah menyerah dengan keadaan dan penuh perjuangan di tengah kesusahan hidup yang dialami. Ia tidak berpangku tangan dan pasrah terhadap keadaan, bahkan ia tidak mengambil jalan pintas, dia tetap melakukan tanggung jawabnya dengan mencari kayu api mengolah apa yang ada padaNya. Karena itu, mari kita belajar untuk menjadi orang-orang yang mau terus berjuang di tengah hidup ini.  

Bercermin dari janda sarfat ini, ada beberapa kenyataan yang saya temukan dari kehidupan orang-orang pinggiran yang mengajarkan kita tentang arti perjuangan hidup. Yang pertama, ketika ada oma-oma kaeng kabaya, di pagi subuh, sudah bekerja mencabut rumput di sepanjang trotoar di salah satu jalan yang saya lewati, atau juga bapa ibu pasti sudah pernah lihat ada seorang penjual koran di depan Amplaz (ambon plaza), meskipun cacat di bagian kaki, dia tetap penuh semangat melakukan pekerjaannya. Begitupun seorang bapak yang sudah tua. Ia tidak pernah bergantung dari anak-anaknya, ia tidak pernah menjadi peminta-minta, tapi selalu bekerja dengan keras dan jujur. Karena itu, kepada kita yang masih kuat dan produktif, kita tidak boleh cengeng deng tantangan hidup ini. Kita tidak boleh memakai alasan yang tidak rasional lalu melegalkan kemalasan, bermental minta-minta, padahal ada kekuatan yang Tuhan berikan untuk bekerja, kemudian hidup dari peruntungan berupa judi dsb. Bekerjalah dengan sungguh, Tuhan memperhitungkan peluhmu, Ia sungguh menghargai kerja kerasmu.  Inga tapa yang diungkapkan Amsal 28:19 “Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa yang mengejar barang yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan.  

Pesan ketiga yang hendak disampaikan dari teks I Raja2 17:7-16 adalah bahwa Janda sarfat ini menunjukan ketaatan yang luar biasa kepada Elia, sebab dia meyakini bahwa Elia diutus Tuhan. Bentuk dari ketaatan janda sarfat ini adalah berlaku baik kepada Elia meskipun dia sendiri berada dalam kesusahan. Menarik bahwa janda ini meresponi permintaan Elia dengan kata-kata yang tidak pantas. Saya bisa bayangkan mungkin saja ketika kita ada dalam situasi seperti si janda sarfat ini, mungkin kita akan berkata kepada Elia, “Elia apakah kamu tidak waras” , saya dan anak saya saja tidak lagi punya  makanan, tetapi kamu masih mau meminta dari kami lagi?. Menarik sekali, janda sarfat tidak menolak, tetapi dengan jujur berkata bahwa ia tidak memiliki roti dan ketika Elia menyuruhnya membuat roti, dia tetap melakukan itu. Kita juga mesti balajar dari janda sarfat ini, supaya ketika misalnya ada orang lain yang meminta pertolongan, jangan sampai kita mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya, hargailah orang itu, Kalau tidak ada yang bisa dibantu, katakan dengan jujur saja tidak ada, tapi kalau ada, bisa untuk membantu, jang pernah berkata tidak ada. Sebab yang dikehendaki Tuhan adalah, apa yang Ia anugerahkan kepada saudara dan saya adalah juga untuk disalurkan kepada mereka yang membutuhkan.    

Ketaatan dari janda sarfat kepada Tuhan dengan menolong Elia ternyata tidak sia-sia, melalui Elia, Tuhan menyatakan berkatNya, sehingga tepung dan minyak pada buli-buli itu tidak pernah habis. Bahkan kalau kita membaca pada ayat 18-24 disitu kita melihat bahwa anak janda sarfat ini kemudian mati, tetapi akhirnya hidup kembali melalui permohonan doa Elia kepada Allah. Saya sendiri punya pengalaman iman bahwa ketaatan kepada Tuhan lewat melakukan perbuatan baik kepada sesama, semuanya itu tidak pernah sia-sia. Saat menjadi korban kerusuhan, saya sekeluarga tinggal di rumahnya seorang ibu selama 11 tahun, tanpa bayar sepeser pun. Padahal awalnya kami tidak saling mengenal dan tidak punya hubungan apa-apa. Beliau menerima saya dan keluarga layaknya saudara. Setelah bertahun-tahun hidup saya merenungkan, ternyata ini buah dari apa yang kami sekeluarga tanam. Dulu pernah ada orang asing yang tidak tahu mau tinggal dimana lagi. Dari kenyataan itu, kami memberikan sebidang tanah beliau bersama keluarga tinggal dan berjualan. Dari sudut pandang iman, saya yakini bahwa Tuhan itu tidak pernah lupa dengan perbuatan baik yang kita lakukan kepada sesama. Percayalah bahwa setiap kebaikan yang dilandasi dengan ketulusan, Tuhan senantiasa perhitungkan itu. Bapak/ibu/sdr/i akan melihat dan merasakannya, dalam bentuk yang mungkin berbeda-beda, bagaimana Tuhan berkarya menolong kehidupan saudara. 

Pesan yang terakhir yang hendak disampaikan kepada kita adalah bahwa mungkin saudara dan saya tidak bisa melakukan mujizat sama seperti imam eli, tapi saya percaya, kita bisa berbuat sesuatu sehingga tepung dan minyak yang ada pada buli-buli para janda di tengah kehidupan persekutuan kita, tetap ada setiap waktu, melalui berbagai berkat yang Tuhan titipkan. Jangan kuatir, hidupmu senantiasa Tuhan cukupkan. Maknailah hidup ini dalam sebuah kesadaran bahwa hidup ini adalah kesempatan dimana Tuhan sementara mengutus saudara dan saya untuk menjadi berkat bagi sesama. Tuhan memberkati kehidupan kita sekalian. Amin.  
  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar