Selasa, 24 Februari 2015

Perang Melawan Keserakahan

Bapak/ibu/basudara jemaat yang diberkati Tuhan
Di masa modern seperti sekarang ini, ada dua hal yang cenderung menjadi primadona bagi banyak orang. Yang pertama adalah, posisi atau jabatan yang dihormati dan yang kedua adalah uang. Kenapa dua hal ini cenderung menjadi prioritas hidup manusia? Karena pada umumnya, ada anggapan bahwa dengan jabatan dan posisi yang dihormati, kita dapat mengatur segalanya sesuai keinginan kita, kita menjadi orang-orang yang disegani, dan ketika memiliki banyak uang maka segala persoalan dapat teratasi. Punya banyak uang, bisa beli apa saja dan kemana saja. Kedua hal ini seakan menjadi jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh kebahagiaan di dalam hidup. 

Namun jika kita melihat ke dari realitas hidup kita, maka disitu kita juga menemukan bahwa justru oleh karena jabatan dan uang, banyak orang mengalami kehancuran hidup. Kenapa hal ini bisa terjadi sdr2 jemaat? Kehancuran seperti ini dengan mudah menghinggapi kehidupan manusia,  oleh karena jabatan dan uang telah menjadi tujuan hidup dan bukan menjadi alat/sarana untuk menyatakan arti hidup. Berbagai kasus korupsi dan penyalahgunaan jabatan di negara kita merupakan bukti nyata bahwa jabatan dan uang bisa menjadi senjata yang dapat menghancurkan kehidupan banyak orang, bahkan diri kita sendiri. Lalu apakah dengan demikian uang dan jabatan itu harus dihindari? Tentu tidak? Kesalahannya tidak terletak pada uang dan jabatan itu, melainkan karena pemaknaan hidup tentang kedua hal tersebut. Sumber dari kehancuran itu sesungguhnya diakibatkan oleh karena keserakahan hidup manusia.  Serakah dalam kamus bahasa Indonesia memiliki pengertian selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki. Kata ini sejajar dengan pengertian dari kata rakus, loba dan tamak. Dalam bahasa ambonnya, disebut galojo.

Nah, terhadap kenyataan ini, Gereja Protestan Maluku melalui Lembaga Pembinaan Jemaat hendak memberikan tuntunan bagi kehidupan umat dan pelayan di GPM dalam memaknai dan merefleksikan panggilannya melalui tema mingguan kita kali ini: Pendidikan Melawan Keserakahan, dengan mengacu pada Teks 1 Tim 6:2b-10 dan Amsal 15:16 yang baru saja kita baca dan dengarkan bersama. 

Untuk menemukan pesan dari teks 1 Tim 6:2b-10, kita perlu mengetahui dulu, apa yang melatarbelakangi paulus menulis suratnya kepada Timotius. Surat paulus kepada Timotius merupakan salah satu surat pastoral yang ditujukan untuk membentengi kehidupan Timotius sebagai seorang pemberita Injil yang pada saat itu sementara berada di Jemaat Efesus. Mengapa demikian? Dalam surat paulus ini, ia hendak memperingatkan Timotius mengenai beberapa pemimpin rohani yang memandang pelayanan Kristen sebagai suatu cara yang dapat digunakan untuk menjadi kaya. Para guru palsu itu ingin bekerja sebagai ahli kesalehan hanya untuk memenuhi saku–saku mereka dengan uang. Mereka begitu lihai dalam mempengaruhi banyak orang dengan kemampuan merangkai kata-kata indah, menggunakan pemikiran-pemikiran yang nampaknya logis dan menyenangkan sehingga para pendengarnya terkesima, dan karena penyampaian-penyampaian yang kelihatan spektakuler itu, kemudian mereka menjadikannya sebagai lahan menguntungkan diri sendiri. Saya sendiri melihat bahwa teks ini sebenarnya ditujukan kepada kita sebagai para pelayan untuk menjadi bahan peringatan supaya kita tidak salah menggunakan jabatan-jabatan tersebut sehingga  menjadikannya sebagai peluang untuk memperoleh keuntungan pribadi. 

Nah, yang jadi pertanyaannya adalah, kalau teks ini ditujukan untuk mengingatkan Timotius dan setiap orang yang terpanggil sebagai pelayan ditengah-tengah jemaat, lalu apa sebenarnya relevansi teks ini bagi kehidupan kita selaku jemaat yang hadir dan beribadah di pagi ini. 

Menarik sekali pertanyaan ini. Sebenarnya yang ingin ditekankan dalam teks ini tidak saja kepada soal jabatan gerejawi yang melekat pada kita, melainkan juga bagaimana pemaknaan terhadap identitas kita sebagai orang-orang percaya yang diberi mandat untuk melakukan pemberitaan Injil secara benar, sehingga kita tidak jatuh ke dalam bentuk kejahatan yang disebabkan karena cinta uang. Perlu kita ketahui bahwa pemberitaan Injil adalah pemberitaan tentang kabar baik yang mendatangkan damai sejahtera kepada semua orang. Bentuk pemberitaan injil itu sebenarnya tidak hanya dalam bentuk verbal, ketika kita berperan sebagai pendeta, MJ, coordinator unit, dalam menyampaikan firman Tuhan di dalam ibadah-ibadah. Pemberitaan Injil yang benar, tidak hanya sebatas ucapan saja, melainkan juga di dalam sikap dan perbuatan kita. 

Sebagai contoh, saya tahu setiap pengusaha membutuhkan keuntungan, tapi ingat jangan sampai karena ingin menguasai semuanya, lalu orang kecil yang su jual pulsa dari lama misalnya, katong potong pele dong pung usaha lai. Atau ketika ada diantara kita yang jual minyak tanah, dengar kata harga BBM mo nai, karena cinta uang labe dari sesama, timbun minyak2 tanah, orang cari bilang seng ada, lalu di kemudian hari saat harga su nai, stock lama jual deng harga baru, supaya dapa untung basar. Di sebuah TV saya juga pernah menonton sebuah acara ketika seorang penjual yang tidak mau rugi menggunakan borax pada jualannya, atau juga pedagang ikan yang menggunakan formalin supaya ikannya bisa bertahan lama, sehingga dia tidak rugi. Kadang juga secara tidak sadar, oleh karena cinta uang, kita melakukan fitnah, Bacarita orang seakan orang itu salah, padahal ia tidak pernah salah, hanya karena cinta uang, atau bahkan mengadu domba satu dengan yang lain demi uang. Apakah bentuk-bentuk seperti hidup seperiti ini adalah hidup yang mencerminkan pemberitaan Injil? Tentu tidak, sebab Injil selalu membawa sukacita, kedamaian, bagi setiap orang, bukan dukacita dan perpecahan. 

Pertanyaannya mengapa praktek2 hidup seperti ini bisa terjadi dalam kehidupan kita? Jawabannya adalah karena kita tidak belajar untuk mensyukuri apa yang ada pada kita. Memang, berusaha supaya hidup ini lebih baik tidak ada salahnya. Tetapi semuanya harus dilandasi dengan rasa syukur dengan apa yang dimiliki itu, supaya apa? Supaya hidup kita tidak diperbudak oleh materi. Orang yang bersyukur atas apa yang ada padanya dia akan selalu merasa berkecukupan, sementara yang tidak pernah bersyukur, dia akan selalu merasa berkekurangan, karena itulah, dia akan cenderung dikendalikan oleh materi, dan bukan mengendalikan materi,. Disinilah penyembahan berhala secara tidak langsung terjadi, dan Tuhan menentang hal ini. Basudara jemaat, mari kita renungkan apa yang dikatakan paulus. Katong datang ka dunia seng bawa apa2, dan kembali juga tidak membawa apa2. Itu berarti bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini seng kekal. Apa artinya kita memiliki banyak harta, jika harta itu tidak memberi arti dalam hidup. Toh ketika kita meninggal, semuanya itu tidak kita bawa serta. 

Dalam ayat 8, Paulus menjelaskan bahwa asal kita memiliki makanan dan pakaian, biarlah kita merasa sudah cukup. Kata asli yang ia gunakan untuk “pakaian” tidak hanya berarti baju yang kita pakai, tetapi juga “atap” (rumah) yang ada di atas kepala kita. Jadi, orang percaya harus bersyukur atas yang paling mendasar bagi kehidupan jasmani kita. 
Hal ini tidak berarti bahwa orang percaya dilarang kaya, tetapi ketika apa yang mendasar bagi jasmaninya telah dimiliki maka dia mesti mensyukuri itu. Dengan bersyukur maka kita akan merasa tercukupkan, dan ketika merasa cukup kita tidak akan segan untuk menjadikan apa yang lebih dari pada kebutuhan dasar kita, untuk menjadi sarana berkat bagi orang lain yang berkekurangan. Disinilah kehidupan kita dengan segala berkat yang ada menjadi berarti. Inilah sesungguhnya bentuk pemberitaan yang sejati. 

Nah, pesan yang hendak disampaikan kepada kita selaku gereja dalam kaitan dengan itu adalah, mari kita belajar bersyukur dengan apa yang pada kita sehingga kita bisa menempatkan apa yang lebih dari pada kebutuhan mendasar kita, supaya itu dapat menjadi berkat bagi banyak orang, yang masih jauh dari kebutuhan mendasar. Mari kita menjadi umat dan pelayan yang tidak hanya memikirkan apa yang menyenangkan bagi kita, tetapi belajar untuk menghadirkan kebahagiaan di tengah kehidupan para janda yang berkekurangan, anak-anak yang putus sekolah karena tidak punya biaya, mereka yang terpaksa tinggal menahan sakit di rumah karena tidak mampu ke rumah sakit. Saya sendiri merenungkan bahwa sebagai gereja, kita mesti belajar bersyukur tentang hidup ini, supaya berkat-berkat Tuhan itu tidak disalahgunakan dan disalahartikan. 

Saya adalah salah seorang yang sangat tertarik dengan kisah persembahan janda yang miskin, yang memberi dari kekurangannya. Gereja selama ini mengagungkan sikap janda ini, tetapi seringkali gereja lupa untuk bertanya mengapa janda miskin ini harus memberi dari kekurangannnya. Apakah orang-orang disekitar saat itu, telah dibutakan oleh kesenangan pribadi dan lupa bersyukur dengan apa yang ada padanya sehingga mereka boleh memberi dengan kelimpahan kepada Tuhan tetapi hidup bersama dengan janda yang berkekurangan. Sehingga menjadi sesuatu yang miris, ketika kita berkata puji Tuhan, haleluya, sebab Tuhan baik, sementara disitu kita beribadah bersama dengan saudara yang hidup berkekurangan tapi kita seakan tidak rela jika sebagian kecil dari yang kita miliki, diberikan untuk membantu mereka. Karena apa? Kita terlalu mencintai materi dan takut kehilangan sesuatu yang sifatnya tidak kekal. 

Selanjutnya pada ayat yang ke 9, disitu kita menemukan peringatan paulus yang sangat keras. Cinta akan uang dan keinginan untuk menjadi lebih kaya menyebabkan banyak kesenangan lain yang bodoh dan yang menenggelamkan atau menghanyutkan orang ke dalam kehancuran. Kata-kata ini mengingatkan saya pada sebuah ilustrasi. Di beberapa negara, monyet ditangkap dengan memasukkan umpan nasi ke dalam sebuah wadah. Hanya ada sebuah lubang kecil yang supaya monyet ini dapat memasukan tangannya. Ketika si monyet memasukkan tangannya ke dalam wadah tersebut dan mengambil nasi yang terdapat di dalamnya, kepalan tangannya tidak dapat ditarik keluar. Karena si monyet sungguh-sungguh tidak mau melepaskan nasi itu, ia terjebak karena kerakusannya! Pesan dari ilustrasi ini hendak mengingatkan kita bahwa seringkali orang karena ketamakannya berlaku seperti monyet ini, enggan melepaskan diri dari cinta uang, sehingga menyebabkan kita terperangkap dalam kesusahan. Karena itu lebih lanjut paulus menyatakan di dalam ayat ke 10. “Sebab akar segala kejahatan adalah cinta akan uang. Maka, ada orang yang karena itu telah menyimpang dari iman dan telah menyiksa dirinya sendiri dengan berbagai kesusahan.

Sebagai contoh, ada banyak orang cinta akan uang lalu melakukan kebohongan. Cinta akan uang menyebabkan orang menjadi penipu atau pelanggar hukum, menjadi pencuri, bahkan menjadi pembunuh. Cinta akan uang dapat menghancurkan pernikahan, keluarga, dan mengacaubalaukan kehidupan anak–anak. Cinta akan uang menghancurkan relasi hidup ade kaka. Cinta akan uang menciptakan perpecahan antar rekan kerja, dsb.  Cinta akan uang menimbulkan gangguan secara emosional, dia akan gelisah karena takut kehilangan semua uangnya, apalagi jika semua uang itu diperoleh tidak dengan cara yang benar. Karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh bacaan kita yang kedua, Amsal 15:16, lebih baik sedikit harta dengan takut akan Allah daripada banyak harta dengan disertai kecemasan. Artinya lebe baik yang katong bawa pulang voor keluarga biar akang sadiki, tapi hasil kerja keras, dengan kejujuran dan takut Tuhan dari pada banyak dari sesuatu yang tidak benar. Sebab bagaimanapun juga, kita akan didakwa oleh hati nurani kita, sehingga kita tidak memperoleh ketenangan batin. 

Mengakhiri khotbah ini, ada sebuah kisah inspiratif, sebuah kisah nyata dari kehidupan seorang dokter yang bernama Lie A. Dharmawan, seorang dokter yang berusia sekitar 70 tahun mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA) untuk melayani masyarakat yang tidak terjangkau oleh layanan medis. Rumah Sakit Apung milik dr. Lie hanyalah sebuah kapal sederhana yang terbuat dari kayu, yang di dalamnya disekat-sekat menjadi bilik-bilik yang diperuntukkan untuk merawat pasien-pasien inap ataupun pasien-pasien pasca operasi. Oleh banyak orang dr. Lie dianggap sebagai dokter gila, karena keberaniannya menggunakan kapal kayu mengarungi pelosok negeri ini untuk membantu saudara-saudara kita yang kurang mampu tetapi memerlukan pelayanan kesehatan segera.

Dalam perjalanannya dengan Rumah Sakit Apung, dr. Lie telah melakukan sebanyak 60 kali operasi mayor dan 117 kali bedah minor dan telah merawat 1.630 pasien umum. Dengan catatan bahwa apa yang telah dilakukan oleh dr. Lie dan teamnya, tidak mendapat bayaran.
Latar belakang dr. Lie A. Dharmawan yang berasal dari keluarga kurang mampu, anak ke-4 dari 7 bersaudara ini telah ditinggal almarhum ayahnya pada usia 10 tahun. Dengan keluarga besar, serta ditinggal tulang punggung keluarga membuat ibu dari dr. Lie harus berusaha menghidupi keluarganya dengan melakukan pekerjaan apa saja, sampai-sampai mendapatkan upah cuci pun dilakukan oleh ibu dr. Lie. Untuk mencapai cita-cita menjadi dokter, tidaklah mudah bagi seorang Lie yang berasal dari keluarga kurang mampu. Bahkan ketika dia mengutarakan keinginannya untuk menjadi seorang dokter, dr. Lie sempat ditertawakan. Bagaimana mungkin seorang anak miskin dapat menjadi seorang dokter? Karena semua orang tahu bahwa menjadi seorang dokter harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Tetapi kemiskinan bukanlah halangan bagi seorang dr. Lie, setelah ditolak untuk kuliah di beberapa perguruan tinggi, akhirnya dr. Lie mendapatkan tawaran untuk sekolah dokter di Jerman. Walaupun gratis, tetapi untuk berangkat ke sana tidaklah mudah. Dr. Lie harus menabung bersama saudaranya agar dapat berangkat ke sana.

Karena sangat cintanya dengan tanah air, walaupun dia bisa mendapatkan fasilitas dan pekerjaan yang menjanjikan, serta harta harta berlimpah di Jerman. Dr. Lie tetap pulang ke Indonesia, setelah menetap selama 18 tahun di Jerman. Luar biasa dia mengabdikan dirinya untuk melayani sesama. Ia tidak pernah mempedulikan soal bayaran, apalagi sampai menjadi hamba uang. Apa alasannya?  

Selain dari latar belakang dari keluarga yang tidak mampu, yang tahu merasakan apa arti kekurangan, ada satu hal menarik yang melatar belakangi dokter lie melakukan semuanya itu. Dia selalu mengingat akan pesan ibunya "Kalau kamu jadi dokter, jangan memeras orang kecil. "Mereka bisa membayar kamu, tetapi ketika sampai di rumah mereka akan menangis, karena mereka tidak mampu lagi untuk membeli beras".  

Nah, terkait dengan tema mingguan kita pendidikan melawan keserakahan, maka saya kira pesan ibu dokter lie ini harus menjadi pesan yang kita teruskan kepada anak-anak kita, supaya mereka tidak menjadi hamba uang, jauh dari keserakahan dan mampu pribadi-pribadi yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani sesama lewat segala berkat yang Tuhan berikan, apapun itu. Saya percaya, disitu kita akan mengalami kebahagiaan yang lebih dari pada memiliki segudang harta duniawi. Kiranya kita semua dimampukan untuk mewujudnyatakan hidup untuk menjadi saluran berkat bagi banyak orang, lewat berbagai berkat yang Tuhan anugerah. Tuhan memberkati. Amin   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar