Bapak/ibu/basudara
jemaat yang diberkati Tuhan
Di
masa modern seperti sekarang ini, ada dua hal yang cenderung menjadi primadona
bagi banyak orang. Yang pertama adalah, posisi atau jabatan yang dihormati dan
yang kedua adalah uang. Kenapa dua hal ini cenderung menjadi prioritas hidup
manusia? Karena pada umumnya, ada anggapan bahwa dengan jabatan dan posisi yang
dihormati, kita dapat mengatur segalanya sesuai keinginan kita, kita menjadi
orang-orang yang disegani, dan ketika memiliki banyak uang maka segala
persoalan dapat teratasi. Punya banyak uang, bisa beli apa saja dan kemana
saja. Kedua hal ini seakan menjadi jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh
kebahagiaan di dalam hidup.
Namun
jika kita melihat ke dari realitas hidup kita, maka disitu kita juga menemukan
bahwa justru oleh karena jabatan dan uang, banyak orang mengalami kehancuran
hidup. Kenapa hal ini bisa terjadi sdr2 jemaat? Kehancuran seperti ini dengan
mudah menghinggapi kehidupan manusia, oleh karena jabatan dan uang telah
menjadi tujuan hidup dan bukan menjadi alat/sarana untuk menyatakan arti hidup.
Berbagai kasus korupsi dan penyalahgunaan jabatan di negara kita merupakan
bukti nyata bahwa jabatan dan uang bisa menjadi senjata yang dapat
menghancurkan kehidupan banyak orang, bahkan diri kita sendiri. Lalu apakah
dengan demikian uang dan jabatan itu harus dihindari? Tentu tidak? Kesalahannya
tidak terletak pada uang dan jabatan itu, melainkan karena pemaknaan hidup
tentang kedua hal tersebut. Sumber dari kehancuran itu sesungguhnya diakibatkan
oleh karena keserakahan hidup manusia. Serakah dalam kamus bahasa
Indonesia memiliki pengertian selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki.
Kata ini sejajar dengan pengertian dari kata rakus, loba dan tamak. Dalam
bahasa ambonnya, disebut galojo.
Nah,
terhadap kenyataan ini, Gereja Protestan Maluku melalui Lembaga Pembinaan
Jemaat hendak memberikan tuntunan bagi kehidupan umat dan pelayan di GPM dalam
memaknai dan merefleksikan panggilannya melalui tema mingguan kita kali ini: Pendidikan Melawan
Keserakahan, dengan mengacu pada Teks 1 Tim 6:2b-10 dan Amsal 15:16 yang
baru saja kita baca dan dengarkan bersama.
Untuk
menemukan pesan dari teks 1 Tim 6:2b-10, kita perlu mengetahui dulu, apa yang
melatarbelakangi paulus menulis suratnya kepada Timotius. Surat paulus kepada
Timotius merupakan salah satu surat pastoral yang ditujukan untuk membentengi
kehidupan Timotius sebagai seorang pemberita Injil yang pada saat itu sementara
berada di Jemaat Efesus. Mengapa demikian? Dalam surat paulus ini, ia hendak
memperingatkan Timotius mengenai beberapa pemimpin rohani yang memandang
pelayanan Kristen sebagai suatu cara yang dapat digunakan untuk menjadi kaya.
Para guru palsu itu ingin bekerja sebagai ahli kesalehan hanya untuk memenuhi
saku–saku mereka dengan uang. Mereka begitu lihai dalam mempengaruhi banyak
orang dengan kemampuan merangkai kata-kata indah, menggunakan
pemikiran-pemikiran yang nampaknya logis dan menyenangkan sehingga para pendengarnya
terkesima, dan karena penyampaian-penyampaian yang kelihatan spektakuler itu,
kemudian mereka menjadikannya sebagai lahan menguntungkan diri sendiri. Saya
sendiri melihat bahwa teks ini sebenarnya ditujukan kepada kita sebagai para
pelayan untuk menjadi bahan peringatan supaya kita tidak salah menggunakan
jabatan-jabatan tersebut sehingga menjadikannya sebagai peluang untuk
memperoleh keuntungan pribadi.
Nah, yang jadi pertanyaannya
adalah, kalau teks ini ditujukan untuk mengingatkan Timotius dan setiap orang
yang terpanggil sebagai pelayan ditengah-tengah jemaat, lalu apa sebenarnya
relevansi teks ini bagi kehidupan kita selaku jemaat yang hadir dan beribadah
di pagi ini.
Menarik sekali pertanyaan
ini. Sebenarnya yang ingin ditekankan dalam teks ini tidak saja kepada soal
jabatan gerejawi yang melekat pada kita, melainkan juga bagaimana pemaknaan
terhadap identitas kita sebagai orang-orang percaya yang diberi mandat untuk
melakukan pemberitaan Injil secara benar, sehingga kita tidak jatuh ke dalam
bentuk kejahatan yang disebabkan karena cinta uang. Perlu kita ketahui bahwa
pemberitaan Injil adalah pemberitaan tentang kabar baik yang mendatangkan damai
sejahtera kepada semua orang. Bentuk pemberitaan injil itu sebenarnya tidak
hanya dalam bentuk verbal, ketika kita berperan sebagai pendeta, MJ,
coordinator unit, dalam menyampaikan firman Tuhan di dalam ibadah-ibadah.
Pemberitaan Injil yang benar, tidak hanya sebatas ucapan saja, melainkan juga
di dalam sikap dan perbuatan kita.
Sebagai contoh, saya tahu
setiap pengusaha membutuhkan keuntungan, tapi ingat jangan sampai karena ingin
menguasai semuanya, lalu orang kecil yang su jual pulsa dari lama misalnya,
katong potong pele dong pung usaha lai. Atau ketika ada diantara kita yang jual
minyak tanah, dengar kata harga BBM mo nai, karena cinta uang labe dari sesama,
timbun minyak2 tanah, orang cari bilang seng ada, lalu di kemudian hari saat
harga su nai, stock lama jual deng harga baru, supaya dapa untung basar. Di
sebuah TV saya juga pernah menonton sebuah acara ketika seorang penjual yang
tidak mau rugi menggunakan borax pada jualannya, atau juga pedagang ikan yang
menggunakan formalin supaya ikannya bisa bertahan lama, sehingga dia tidak
rugi. Kadang juga secara tidak sadar, oleh karena cinta uang, kita melakukan
fitnah, Bacarita orang seakan orang itu salah, padahal ia tidak pernah salah,
hanya karena cinta uang, atau bahkan mengadu domba satu dengan yang lain demi
uang. Apakah bentuk-bentuk seperti hidup seperiti ini adalah hidup yang mencerminkan
pemberitaan Injil? Tentu tidak, sebab Injil selalu membawa sukacita, kedamaian,
bagi setiap orang, bukan dukacita dan perpecahan.
Pertanyaannya mengapa
praktek2 hidup seperti ini bisa terjadi dalam kehidupan kita? Jawabannya adalah
karena kita tidak belajar untuk mensyukuri apa yang ada pada kita. Memang,
berusaha supaya hidup ini lebih baik tidak ada salahnya. Tetapi semuanya harus
dilandasi dengan rasa syukur dengan apa yang dimiliki itu, supaya apa? Supaya
hidup kita tidak diperbudak oleh materi. Orang yang bersyukur atas apa yang ada
padanya dia akan selalu merasa berkecukupan, sementara yang tidak pernah
bersyukur, dia akan selalu merasa berkekurangan, karena itulah, dia akan
cenderung dikendalikan oleh materi, dan bukan mengendalikan materi,. Disinilah
penyembahan berhala secara tidak langsung terjadi, dan Tuhan menentang hal ini.
Basudara jemaat, mari kita renungkan apa yang dikatakan paulus. Katong datang
ka dunia seng bawa apa2, dan kembali juga tidak membawa apa2. Itu berarti bahwa
segala sesuatu yang ada di dunia ini seng kekal. Apa artinya kita memiliki
banyak harta, jika harta itu tidak memberi arti dalam hidup. Toh ketika kita
meninggal, semuanya itu tidak kita bawa serta.
Dalam ayat 8, Paulus
menjelaskan bahwa asal kita memiliki makanan dan pakaian, biarlah kita merasa
sudah cukup. Kata asli yang ia gunakan untuk “pakaian” tidak hanya
berarti baju yang kita pakai, tetapi juga “atap” (rumah) yang ada di atas
kepala kita. Jadi, orang percaya harus bersyukur atas yang paling
mendasar bagi kehidupan jasmani kita.
Hal ini tidak berarti bahwa
orang percaya dilarang kaya, tetapi ketika apa yang mendasar bagi jasmaninya
telah dimiliki maka dia mesti mensyukuri itu. Dengan bersyukur maka kita akan
merasa tercukupkan, dan ketika merasa cukup kita tidak akan segan untuk
menjadikan apa yang lebih dari pada kebutuhan dasar kita, untuk menjadi sarana
berkat bagi orang lain yang berkekurangan. Disinilah kehidupan kita dengan
segala berkat yang ada menjadi berarti. Inilah sesungguhnya bentuk pemberitaan
yang sejati.
Nah, pesan yang hendak
disampaikan kepada kita selaku gereja dalam kaitan dengan itu adalah, mari kita
belajar bersyukur dengan apa yang pada kita sehingga kita bisa menempatkan apa
yang lebih dari pada kebutuhan mendasar kita, supaya itu dapat menjadi berkat
bagi banyak orang, yang masih jauh dari kebutuhan mendasar. Mari kita menjadi
umat dan pelayan yang tidak hanya memikirkan apa yang menyenangkan bagi kita,
tetapi belajar untuk menghadirkan kebahagiaan di tengah kehidupan para janda
yang berkekurangan, anak-anak yang putus sekolah karena tidak punya biaya,
mereka yang terpaksa tinggal menahan sakit di rumah karena tidak mampu ke rumah
sakit. Saya sendiri merenungkan bahwa sebagai gereja, kita mesti belajar
bersyukur tentang hidup ini, supaya berkat-berkat Tuhan itu tidak
disalahgunakan dan disalahartikan.
Saya adalah salah seorang
yang sangat tertarik dengan kisah persembahan janda yang miskin, yang memberi
dari kekurangannya. Gereja selama ini mengagungkan sikap janda ini, tetapi
seringkali gereja lupa untuk bertanya mengapa janda miskin ini harus memberi
dari kekurangannnya. Apakah orang-orang disekitar saat itu, telah dibutakan
oleh kesenangan pribadi dan lupa bersyukur dengan apa yang ada padanya sehingga
mereka boleh memberi dengan kelimpahan kepada Tuhan tetapi hidup bersama dengan
janda yang berkekurangan. Sehingga menjadi sesuatu yang miris, ketika kita
berkata puji Tuhan, haleluya, sebab Tuhan baik, sementara disitu kita beribadah
bersama dengan saudara yang hidup berkekurangan tapi kita seakan tidak rela
jika sebagian kecil dari yang kita miliki, diberikan untuk membantu mereka.
Karena apa? Kita terlalu mencintai materi dan takut kehilangan sesuatu yang
sifatnya tidak kekal.
Selanjutnya pada ayat yang ke
9, disitu kita menemukan peringatan paulus yang sangat keras. Cinta akan uang
dan keinginan untuk menjadi lebih kaya menyebabkan banyak kesenangan lain yang
bodoh dan yang menenggelamkan atau menghanyutkan orang ke dalam kehancuran. Kata-kata ini
mengingatkan saya pada sebuah ilustrasi. Di beberapa negara, monyet ditangkap
dengan memasukkan umpan nasi ke dalam sebuah wadah. Hanya ada sebuah lubang
kecil yang supaya monyet ini dapat memasukan tangannya. Ketika si monyet
memasukkan tangannya ke dalam wadah tersebut dan mengambil nasi yang terdapat
di dalamnya, kepalan tangannya tidak dapat ditarik keluar. Karena si monyet
sungguh-sungguh tidak mau melepaskan nasi itu, ia terjebak karena kerakusannya!
Pesan dari ilustrasi ini hendak mengingatkan kita bahwa seringkali orang karena
ketamakannya berlaku seperti monyet ini, enggan melepaskan diri dari cinta
uang, sehingga menyebabkan kita terperangkap dalam kesusahan. Karena itu
lebih lanjut paulus menyatakan di dalam ayat ke 10. “Sebab akar segala kejahatan
adalah cinta akan uang. Maka, ada orang yang karena itu telah menyimpang
dari iman dan telah menyiksa dirinya sendiri dengan berbagai kesusahan.
Sebagai contoh, ada banyak
orang cinta akan uang lalu melakukan kebohongan. Cinta akan uang menyebabkan
orang menjadi penipu atau pelanggar hukum, menjadi pencuri, bahkan menjadi
pembunuh. Cinta akan uang dapat menghancurkan pernikahan, keluarga, dan
mengacaubalaukan kehidupan anak–anak. Cinta akan uang menghancurkan relasi
hidup ade kaka. Cinta akan uang menciptakan perpecahan antar rekan kerja, dsb.
Cinta akan uang menimbulkan gangguan secara emosional, dia akan gelisah karena
takut kehilangan semua uangnya, apalagi jika semua uang itu diperoleh tidak
dengan cara yang benar. Karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh bacaan
kita yang kedua, Amsal 15:16, lebih baik sedikit harta dengan takut akan Allah
daripada banyak harta dengan disertai kecemasan. Artinya lebe baik yang katong
bawa pulang voor keluarga biar akang sadiki, tapi hasil kerja keras, dengan
kejujuran dan takut Tuhan dari pada banyak dari sesuatu yang tidak benar. Sebab
bagaimanapun juga, kita akan didakwa oleh hati nurani kita, sehingga kita tidak
memperoleh ketenangan batin.
Mengakhiri khotbah ini, ada
sebuah kisah inspiratif, sebuah kisah nyata dari kehidupan seorang dokter
yang bernama Lie A. Dharmawan, seorang dokter yang berusia sekitar 70 tahun
mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA) untuk melayani masyarakat yang tidak
terjangkau oleh layanan medis. Rumah Sakit Apung milik dr. Lie hanyalah sebuah
kapal sederhana yang terbuat dari kayu, yang di dalamnya disekat-sekat menjadi
bilik-bilik yang diperuntukkan untuk merawat pasien-pasien inap ataupun
pasien-pasien pasca operasi. Oleh banyak orang dr. Lie dianggap sebagai dokter
gila, karena keberaniannya menggunakan kapal kayu mengarungi pelosok negeri ini
untuk membantu saudara-saudara kita yang kurang mampu tetapi memerlukan
pelayanan kesehatan segera.
Dalam perjalanannya dengan
Rumah Sakit Apung, dr. Lie telah melakukan sebanyak 60 kali operasi mayor dan
117 kali bedah minor dan telah merawat 1.630 pasien umum. Dengan catatan bahwa
apa yang telah dilakukan oleh dr. Lie dan teamnya, tidak mendapat bayaran.
Latar belakang dr. Lie A.
Dharmawan yang berasal dari keluarga kurang mampu, anak ke-4 dari 7 bersaudara
ini telah ditinggal almarhum ayahnya pada usia 10 tahun. Dengan keluarga besar,
serta ditinggal tulang punggung keluarga membuat ibu dari dr. Lie harus
berusaha menghidupi keluarganya dengan melakukan pekerjaan apa saja,
sampai-sampai mendapatkan upah cuci pun dilakukan oleh ibu dr. Lie. Untuk
mencapai cita-cita menjadi dokter, tidaklah mudah bagi seorang Lie yang berasal
dari keluarga kurang mampu. Bahkan ketika dia mengutarakan keinginannya untuk
menjadi seorang dokter, dr. Lie sempat ditertawakan. Bagaimana mungkin seorang
anak miskin dapat menjadi seorang dokter? Karena semua orang tahu bahwa menjadi
seorang dokter harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Tetapi kemiskinan
bukanlah halangan bagi seorang dr. Lie, setelah ditolak untuk kuliah di
beberapa perguruan tinggi, akhirnya dr. Lie mendapatkan tawaran untuk sekolah
dokter di Jerman. Walaupun gratis, tetapi untuk berangkat ke sana tidaklah
mudah. Dr. Lie harus menabung bersama saudaranya agar dapat berangkat ke sana.
Karena sangat cintanya dengan
tanah air, walaupun dia bisa mendapatkan fasilitas dan pekerjaan yang
menjanjikan, serta harta harta berlimpah di Jerman. Dr. Lie tetap pulang ke
Indonesia, setelah menetap selama 18 tahun di Jerman. Luar biasa dia mengabdikan
dirinya untuk melayani sesama. Ia tidak pernah mempedulikan soal bayaran,
apalagi sampai menjadi hamba uang. Apa alasannya?
Selain dari latar belakang
dari keluarga yang tidak mampu, yang tahu merasakan apa arti kekurangan, ada
satu hal menarik yang melatar belakangi dokter lie melakukan semuanya itu. Dia
selalu mengingat akan pesan ibunya "Kalau kamu jadi dokter, jangan
memeras orang kecil. "Mereka bisa membayar kamu, tetapi ketika
sampai di rumah mereka akan menangis, karena mereka tidak mampu lagi untuk
membeli beras".
Nah, terkait dengan tema
mingguan kita pendidikan melawan keserakahan, maka saya kira pesan ibu dokter
lie ini harus menjadi pesan yang kita teruskan kepada anak-anak kita, supaya
mereka tidak menjadi hamba uang, jauh dari keserakahan dan mampu
pribadi-pribadi yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani sesama lewat segala
berkat yang Tuhan berikan, apapun itu. Saya percaya, disitu kita akan mengalami
kebahagiaan yang lebih dari pada memiliki segudang harta duniawi. Kiranya kita
semua dimampukan untuk mewujudnyatakan hidup untuk menjadi saluran berkat bagi
banyak orang, lewat berbagai berkat yang Tuhan anugerah. Tuhan memberkati. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar